Cari Blog Ini

All Children Can Learn

Jumat, 05 April 2013

Bagaimana Seharusnya Kita Beragama?


Bagaimana seharusnya kita beragama?


Aqidah
Aqidah adalah perkara-perkara yang mengikat akal, pikiran dan jiwa seseorang (mabani-e Syenakht, Syeikh Muhammad Raysyahri).
Misalnya, ketika seseorang meyakini adanya satu Dzat yang senantiasa mengawasi gerak-gerik kita, maka keyakinan tersebut mengikat kita sehingga tidak leluasa berbuat sesuatu yang akan menyebabkan-Nya murka.
Pada dasarnya, inti dari Aqidah semua agama, adalah keyakinan akan eksistensi Dzat pencipta alam raya ini, dan ini merupakan fitrah manusia. Dengan demikian, dari sisi ini semua agama sama, khususnya agama samawi. Allah Ta'ala berfirman, "Katakanlah, Wahai Ahli Kitab, marilah kita menuju (membicarakan) kalimat (keyakinan) yang sama antara kami dan kalian." (QS. Ali Imran:64).
Namun perbedaan muncul ketika berbicara tentang siapa Pencipta alam raya ini, bagaimana wujud-Nya, apakh tunggal atau berbilang, atau pertanyaan-pertanyaan lain yang berkaitan dengan ketuhanan.
Tentu, tidak mungkin semua agama itu benar dalam memahami sang pencipta. Oleh karenanya , hanya ada satu agama yang benar dalam memahami Siapa dan bagaimana Dzat Pencipta itu.
Lalu bagaimana cara menetukan mana agama yang benar?
Dalam hal ini, masing-masing agama tidak bisa membicarakan hal itu menurut kacamatanya sendiri, baik melalui kitab sucinya atau pendapat para pakarnya. Ummat Islam tidak bisa membuktikan bahwa Tuhan itu Allah dengan Al-Qur'an' maupun hadits, atau Ummat Kristiani dengan kitab Injilnya. Demikian pula ummat lainnya.
Berbicara mengenai tentang Siapa dan bagaimana Tuhan Pencipta, harus dengan sesuatu yang disepakati dan dimiliki oleh setiap agama, yaitu akal. Keunggulan dan keberhasilan suatu agama atau aliran, tergantung sejauh mana dapat dipertahankan kebnarannya oleh akal. Maka di sinilah pelunya kita mempelajari aqidah melalui pendekatan akal, atau yang sering disebut dengan ushuluddin, ilmu Tawhid dan ilmu Kalam (theologi).
Bagaimana kita beraqidah atau bagaiman kita mempelajari aqidah ?
Ayatullah Muhammad Raysyahri dalam Kitab Mabani-e Syenakht membafi manusia beraqidah keapda dua kelompok , yaitu sebagian orang beraqidah atas dasar Taqlid dan lainnya beraqidah atas dasar Tahqiq. Taqlid ialah menerima pendapat orang tanpa dalil dan argumentasi (burhan) aqli, sebaliknya Tahqiq adalah menerima pendapat berdasarkan dalil dan argumentasi (burhan) Aqli.
Beraqidah atas dasar taqlid, menurut akal tidak dapat dibenarkan.Karena masalah Aqidah adalah masalah keyakinan dan kemantapan. Sementara taqlid tidak memberikan keyakinan dan kemantapan.Oleh karenanya, alangkah banyak kalangan awam, dalam masalah keagamaan, karena satu dan lain hal, pindah agama atau keluar dari agamanya. Al-Qur'an sendiri, dalam beberapa ayatnya, mengkritik cara berpikir seprti ini, yang merupakan cara berpikir yang biasa dijadikan alasan oleh orang-orang musyrik untuk tidak mengikuti ajakan para nabi. Misalnya, Al-Qur'an mengatakan,"Jika dikatakann kepada mereka ,'ikutilah apa yang Allah turunkan.' Mereka menjawab,'Tidak.' Akan tetapi kami mengikuti (melakukan) apa yang kami dapati dari pendahulu kami." (QS. Luqman :21).
Selain itu, Al-Qur'an juga melarang mengikuti sesuatu tanpa pengetahuan,"Dan janganlah kalian mengikuti apa yang tidak kalian ketahui." (QS. al-Isra :36). Bahkan Al-Qur'an menyebut orang yang tidak menggunakan akalnya sebagai binatang yang paling buruk,"Sesungguhnya binatang yang paling buruk di sisi Allah adalah orang yang bisu dan tuli, yaitu orang-orang yang tidak berpikir." (QS. al-Anfal:22) dan ayat-ayat lainnya.
Disamping itu, terdapat hadits Rasulullah saww. yang menganjurkan ummatnya agar beragama atas dasar pengetahuan. Atara lain hadits yang berbunyi,"Jadilah kalian orang yang berilmu atau yang sedang menuntut ilmu, dan jangan menjadi orang yang ikut-ikutan." (Kitab an-Nihayah Ibnu Atsir, jilid I hal. 67)
Ala Kulli Hal, akal diciptakan sebagai sumber kekuatan manusia untuk mengetahui kebenaran dan kesalahan. Salah seorang Ma'shumin berkata, "Allah mempunyai dua hujjah (bukti kebenaran), hujjah lahiriah dan hujjah batiniah. Hujjah lahiriah adalah para Rasul dan Hujjah batiniah adalah akal." Sementara itu, para mutakallimin dan filosof muslim telah bersusah payah membangun argumentasi-argumentasi yang kuat dan kokoh tentang pembuktian keberadaan Allah Ta'ala.
Dengan demikian, kesimpulan yang dapat kita tarik dari keterangan di atas, adalah bahwa dalam masalah aqidah seseorang mesti ber-tahqiq dengan dalil-dalil akal dan tidak boleh ber-taqlid.








Pemimpin Yang Dijanjikan


Janji Allah
Kita selaku umat yang beriman kepada Allah Swt. dan berkeyakinan, bahwa Dialah Dzat yang Maha Adil, Maha Pengasih lagi Penyayang, merasa terhibur dengan janji-janji Allah yang tidak mungkin diingkari-Nya.
Dalam sejumlah ayat Al-Qur'an, Allah menjanjikan bahwasanya pada akhirnya kelak bumi ini akan diwariskan dan dikuasai oleh orang-orang baik, adil dan bertaqwa.
Allah Swt. berfirman, "Dan kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi, dan Kami hendak menjadikan mereka sebagai pemimpin dan akan mewarisi bumi ini." (QS. Al-Qashash ayat 5).
Ayat di atas secara kontekstual menceritakan tentang orang-orang Yahudi yang ditindas Fir'aun, dan Allah menjanjikan kepada mereka nanti untuk menjadi pemimpin dan pewaris bumi.
Meskipun demikian, maksud ayat tersebut tidak dibatasi dengan peristiwa yang dialami bangsa Yahudi waktu itu saja, karena ayat ini ingin menjelaskan bahwa orang-orang yang tertindas dan diperlakukan zalim, suatu saat nanti akan menjadi penguasa dan pemimpin di atas bumi ini. Jadi ayat tersebut menyatakan, bahwa yang akan menjadi pemimpin dan pewaris bumi adalah orang-orang yang tertindas.
Pada ayat lainnya Allah berfirman, "Sesungguhnya, bumi ini akan diwarisi hamba-hamba-Ku yang shaleh." (QS. Al-Anbiya, 105).
Ayat tersebut dengan jelas menyatakan, bahwa bumi ini akan diwariskan kepada orang-orang yang baik dan shaleh. Jadi yang akan mewarisi dan menguasai bumi, pada akhirnya adalah orang-orang yang shaleh.
Dalam Al-Qur'an surat An-Nur ayat 55, Allah berfirman,
"Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang beriman dan beramal kebaikan di antara kalian, bahwa Dia benar-benar akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa.
Dan sesungguhnya Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menggantikan keadaan mereka aman setelah mereka ketakutan."
Ayat di atas menjelaskan, bahwasanya Allah berjanji akan menyerahkan kekuasaan atas bumi ini kepada orang-orang yang beriman dan beramal kebaikan. Beranjak dari tiga ayat di atas dan keimanan, tampak bahwa Allah tidak akan melanggar janji-Nya.
Kita selaku kaum muslim yakin, bahwa penderitaan, penindasan dan kezaliman akan berakhir, dan dunia ini akan berada di bawah kepemimpinan orang-orang yang bijak dan shaleh, sehingga pemerataan keadilan dan kedamaian akan tegak.
Andaikata kita amati dengan baik, bahwa kekuasaan dan kepemimpinan akan diserahkan kepada orang-orang tertindas, orang-orang shaleh, orang-orang beriman dan beramal kebaikan. Tiga kriteria tersebut harus ada pada diri seorang pemimpin yang akan mewarisi bumi dan memimpin dunia sesuai dengan janji Allah.

Kriteria-kriteria pemimpin yang Allah Janjikan
Ada tiga kriteria yang harus ada pada seorang calon pemimpin yang Allah janjikan, yaitu tertindas, beramal baik dan beriman.
Maksud tertindas pada pemimpin yang Allah janjikan, adalah seorang yang selama hidupnya selalu mengalami penindasan, tekanan, dan penderitaan. Sedangkan yang dimaksud beramal baik, adalah pemimpin tersebut akan menebarkan persaudaraan, kedamaian dan keadilan kepada seluruh umat manusia.
Adapun maksud dari beriman, adalah dia bukan seorang yang materialis dan kapitalis, yang hanya berusaha memuaskan kebutuhan fisik saja. Bahkan sebaliknya, ia mengajak manusia agar menghargai nilai-nilai kemanusiaan dan menyadarkan manusia bahwa kehidupan tidak hanya di dunia ini saja, tetapi di hari kemudian juga. Oleh karenanya pemimpin yang dijanjikan, adalah pemimpin yang beriman kepada Allah dan hari akhir.

Siapakah pemimpin yang dijanjikan itu ?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, kita tidak perlu mereka-mereka, karena jawabannya dapat kita peroleh dengan mudah dari keterangan hadis-hadis Nabi Muhammad Saaw. Hadis Nabi, sebagaimana fungsinya sebagai penjelas Al-Qur'an, menjelaskan tentang siapa pemimpin yang Allah janjikan itu.
Dalam banyak kitab Hadis dari kalangan Ahlu Sunnah dan Syi'ah disebutkan, bahwa pemimpin yang dijanjikan itu adalah Imam al-Mahdi al-Muntadzar. Di sini akan kami sebutkan sebagian kecil dari Hadis-Hadis tentang al-Mahdi al-Muntadzar.
Ahmad, Turmudzi, Abu Daud dan Ibnu Majah meriwayatkan, bahwasanya Rasulullah Saaw bersabda, "Sekiranya dunia ini hanya tinggal sehari saja, niscaya Allah mengutus seorang manusia dari keluargaku (keturunanku) yang akan memenuhi dunia dengan keadilan, setelah dunia dipenuhi kezaliman." (Kitab Is'af ar-Raghibin).
Rasulullah Saaw bersabda, "Di akhir zaman kelak, akan keluar seorang dari keturunanku, namanya seperti namaku dan julukannya seperti julukanku. Dia akan memenuhi bumi dengan keadilan, sebagaimana sebelumnya bumi dipenuhi kezaliman. Itulah al-Mahdi." (Kitab Tadzkirah al-Khawwas, 204).
Rasulullah Saaw bersabda, "Barangsiapa mengingkari keluarnya al-Mahdi, maka dia telah kufur terhadap apa yang telah diturunkan kepada Nabi Muhammad, dan barang siapa mengingkari tentang kemunculan Dajjal, maka dia telah kufur." (Kitab Faraid as-Simthain).
Menurut Abu Said al-Khudri, Rasulullah Saaw bersabda, "Sampaikanlah kabar gembira tentang al-Mahdi. Sesungguhnya dia akan datang di akhir zaman ketika terjadi kesulitan dan gempa. Allah akan menebarkan keadilan dan kedamaian melalui al-Mahdi di muka bumi ini." (Kitab Dalail al-Imamah, 171).


Bagaimana Menjadi Khalifatullah ?

Ingatlah, ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, Sesungguhnya Aku akan menciptakan di muka bumi seorang khalifah. Para malaikat serentak berkata, Apakah Engkau hendak menciptakan di muka bumi (makhluk) yang akan melakukan kerusakan dan akan menumpahkan darah di dalamnya, padahal kami senantiasa bertasbih dengan menyanjung-Mu dan mensucikan-Mu? Seraya Allah menjawab, Sungguh Aku lebih mengetahui apa-apa yang tidak kalian ketahui. (QS. Al-Baqarah ayat 30).
Apa Arti Khalifah?
Islam memandang manusia sebagai khalifatullah, yakni khalifah Allah. Itulah hakikat manusia. Namun apakah dalam kenyataannya setiap manusia itu khalifatullah ? Bukankah di antara mereka ada yang kafir ?
Lalu apa yang dimaksud dengan manusia sebagai khalifatullah ? Atau bagaimana manusia menjadi khalifatullah ?Sebelum pertanyaan-pertanyaan di atas dapat dijawab, maka terlebih dahulu harus dipahami arti khalifah itu sendiri.
Khalifah atau khilafah, berasal dari akar kata khalaf yang berarti di belakang punggung, meninggalkan sesuatu di belakang atau sesuatu yang menempati tempat sesuatu yang lain. Al-Qur’an menyebut kata khalifah atau khilafah dengan berbagai turunannya.
Selain itu, Al-Qur’an menggunakan kata khalifah untuk manusia dan untuk selain manusia.
Misalnya, ayat yang berbunyi, “Dialah yang menciptakan malam dan siang silih berganti (malam menempati siang dan siang menempati malam), bagi mereka yang mau berpikir atau bersyukur.” (QS. Al-Furqan : 62)
Ketika kata khalifah digunakan untuk manusia, kata ini mempunyai arti yang netral. Maksudnya bisa untuk kebaikan dan bisa pula untuk keburukan.
Lalu datanglah setelah mereka generasi (pengganti), yang melalaikan shalat dan mengikuti hawa napsu. Mereka kelak niscaya akan mendapatkan kesesatan."(QS. Maryam : 59).
Atau firman-Nya yang berbunyi, "Maka datanglah setelah mereka generasi (pengganti), yang mewarisi kitab." (QS. Al-Araf : 169).
Tetapi ketika kata khalifah disandarkan (di-idhafah-kan) kepada Allah atau Rasulullah, maka kata itu mengandung arti yang positif. Maksudnya jika yang diganti (al-mustakhlif) baik, maka yang menggantikannya (khalifah, mustakhlaf) harus baik juga. Andaikata tidak, maka akan merusak reputasi mustakhlif.
Manusia adalah khalifah dari Allah dan Allah adalah puncak segala kebaikan dan kesempurnaan.
Dengan demikian manusia adalah titisan dari kebaikan dan kesempurnaan-Nya.
Jadi manusia berkedudukan sebagai wakil atau pengganti Allah di muka bumi. Yaitu manusia yang mempunyai kemampuan untuk mengatur dan mengubah alam. Manusia yang sedikit banyak mengetahui rahasia alam. Semua itu tidak berlaku bagi makhluk-makhluk lainnya. Akan tetapi bagaimana dengan kenyataan umat manusia zaman kini ? Sungguh ironis sekali bukan.
Syekh Taqi Mishbah berpendapat, bahwa kedudukan khalifah tidak terbatas pada Adam saja, melainkan manusia lain pun dapat menduduki jabatan khilafah dengan satu syarat, yaitu mengetahui asma. (lihat kitab Ma’arif Al-Qur’an, juz 3 hal 73).
Allamah Thabathaba’i dalam kitab Tafsir al-Mizan, jilid I halaman 116 berkata, “Khilafah tidak terbatas pada diri Adam as. saja, tetapi para keturunannya pun sama menduduki khilafah tanpa kecuali.”
Selanjutnya beliau menjelaskan, “Maksud mengajarkan asma, adalah menyimpan ilmu pada manusia yang senantiasa akan tampak secara bertahap. Jika manusia mendapatkan petunjuk, maka dia akan membuktikannya secara faktual (bil-fi’li) setelah sebelumnya berupa potensial (bil-quwwah).”
Maksud dari penjelasan Allamah Thabathaba’i di atas, bahwa manusia secara potensial adalah khalifah Allah. Namun yang mampu memfaktualkannya tidak semua manusia. Hanya sebagian kecil saja di antara mereka yang mampu.
Hal itu kembali kepada ikhtiar dan pilihan manusia itu sendiri.

Kriteria-Kriteria Khalifatullah
Pada dasarnya manusia diciptakan Allah sebagai khalifah-Nya. Namun hal itu masih berupa potensi, seperti yang telah dijelaskan terdahulu. Nah, agar potensi itu berkembang dan mewujud secara nyata, maka terdapat seperangkat kriteria yang harus dipenuhi sehingga manusia benar-benar menjadi khalifah Allah Ta’ala.
Kriteria-kriteria khalifah Allah itu ialah :

1. Ilmu
Kriteria pertama adalah ilmu. Pada ayat yang telah disebutkan terdahulu, selanjutnya disambung dengan ayat yang berbunyi :
Dia mengajarkan kepada Adam asma (nama benda-benda) semuanya, kemudian dia mempertunjukkannya kepada para malaikat. Lalu Allah berfirman (kepada para malaikat), Sebutkanlah kepada-Ku asma-asma itu, jika kalian memang benar ?"(QS. Al-Baqarah : 31).
2. Iman dan Amal
Pada ayat yang lain, Allah Ta’ala berfirman tentang kriteria khalifah-Nya.
"Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kalian dan beramal shaleh (kebaikan), bahwa Dia akan menjadikan mereka sebagai khalifah di bumi, Sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka sebagai khalifah. Sesungguhnya Dia akan meneguhkan bagi mereka agama mereka, yang telah diridhai-Nya untuk mereka, serta Dia benar-benar akan mengubah (keadaan) mereka menjadi aman setelah mereka ketakutan. Mereka akan menyembah-Ku dan tidak menyekutukan apapun dengan-Ku.
Dan barang siapa kafir setelah itu, maka mereka adalah orang-orang yang fasik." (QS. An-Nur : 55).




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

VIVA NEWS

Popular Posts